Renaissance yang
terjadi abad pertengahan di prancis menjadi tolok ukur perubahan tidak hanya
untuk umat kristiani semata, namun juga berimbas kepada peradaban diluar itu.
Renaissance yang berarti hidup kambali mengusung 3 pokok yang menjadi sumber
fundamental akidah sekuler yang lahir setelahnya. 3 hal pokok tersebut adalah
liberte, egalite dan freternite. Inilah titik pencerahan bangsa barat setelah
sekian lama berada pada abad kegelapan / dark age (walaupun mereka lebih senang
menyebutnya abad pertengahan). Pada masa ini pula, keabsolutan gereja sebagai
wakil tuhan di dunia dikerdilkan, yang tersisa hanyalah kepercayaan manusia
terhadap tuhan sebatas beribadah, pengakuan dosa, pernikahan dan kematian.
Untuk urusan sosial politik, mereka lebih mengedepankan akal mereka untuk
menciptakan sistem baru untuk menandingi sistem “Tuhan” yang telah gagal
membawa umat manusia menuju kesejahteraan. Maka lahirlah akidah (keyakinan)
sekuler yang inti ajarannya adalah memisahkan agama dari kehidupan.
Melihat “keberhasilan”
prancis, negara-negara tetangganya pun ikut mengambil langkah yang sama yaitu
dikotomi agama dan negara. Pengaruh besar yang ditimbulkan bangsa barat ini tak
hanya terjadi pada bidang industri saja, akan tetapi mempengaruhi mind set
(pola pikir) mereka terhadap keyakinan dan agama mereka. Inilah awal mula
terciptanya paham-paham relativisme dan liberalisme dalam agama.
Sebagai seorang
muslim, patutnya hanya kepada syariat suatu permasalahan itu ditimbang dan
dipecahkan. Lalu bagaimana pandangan islam mengenai relativisme dan liberalisme
agama ?
Sebelum menjawab
pertanyaan diatas, ada baiknya bila kita mengenal lebih jauh apa itu
relativisme dan liberalisme.
Menurut AM Junaedi[1],
Relatif berarti tidak mutlak;nisbi. Sedangkan Isme adalah paham/aliran/ajaran.
Jadi relativisme dalam beragama artinya ajaran atau paham yang mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk relative, hanya ALLAH saja yang mutlak/absolut sehingga
pola pikir yang dihasilkan manusia itu bersifat relative dan oleh karena itu
manusia tidak boleh memutlakkan pendapatnya.
Sekejap, mungkin
tidak sedikit dari pembaca mengamini kalimat diatas, karena apabila dibaca
sepintas saja, kalimat tersebut seperti benar adanya. Namun sejatinya kalimat
diatas adalah racun yang pemikiran yang siap untuk meruntuhkan pola berpikir
islam kita agar keyakinan kita terhadap islam luntur dengan sendirinya dan
bahkan bisa jadi kita bangga menjadi pengusung paham satanis tersebut.
Na’udzubillah.
Paus benedictus XVI
pernah mengingatkan bahwa eropa saat ini sedang dalam bahaya besar karena paham
relativisme iman yang mendalam.[2]
Paham relativisme
ini tidak hanya berkutat pada masalah mana yang benar dan mana yang salah, akan
tetapi jauh lebih daripada itu, pada akhirnya manusia yang menganut paham ini
akan bertanya dan berpikir “Apakah kebenaran itu memang ada atau tidak?”,
penyebab munculnya pertanyaan tersebut karena ketidakyakinan penganut paham
relativisme terhadap agamanya sendiri. Karena kayakinan inti dalam paham ini
adalah “Agama saya benar, akan tetapi tidak menutup kemungkinan agama anda juga
benar”. Oleh karena itu, penafian[3]
terhadap kata-kata seperti kafir, sesat, musyrik dan lain sebagainya sudah
sering dipakai oleh para relativis. Menurut mereka, kafir/musyriknya seseorang
dikembalikan kepada ALLAH karena hanya ALLAH sajalah yang memiliki kebenaran
yang absolut. Padahal, secara ringkas dan jelas, kita bisa membantah hal
tersebut dengan mengatakan bahwa ALLAH sudah menurunkan alquran sebagai penjelas
dan pembeda antara yang hak dan yang batil. Memang manusia bersifat relative,
namun kerelativan manusia bisa hilang karena merujuk pada sumber yang otentik
(alquran) karena dia adalah wahyu Tuhan. Bila dalam alquran dikatakan haram,
maka haramlah hal tersebut begitu pula sebaliknya. Keimanan didalam islam sudah
otomatis merupakan pengingkaran terhadap kekafiran dan kemusyrikan. Karena
tidak mungkin dalam hati seseorang bersarang dualism keyakinan yang
bertentangan satu sama lain, yaitu dengan mengatakan “Saya Islam dan saya
mempercayai penyaliban Yesus”, membingungkan bukan ?, sama saja halnya dengan
seorang atheis yang berkata “Demi Tuhan, Saya Atheis”.
Kebodohan semacam
ini dapat tidak teridentifikasi oleh orang awam terutama mahasiswa-mahasiswa
semester awal karena dikemas dengan begitu cantiknya oleh istilah-istilah
ilmiah yang pada hakikatnya hanyalah pepesan kosong tak berarti (sampah).
Toleransi dalam
islam tidak memerlukan pengorbanan keyakinan untuk menaikkan derajat rasa
toleransi tersebut. Maksudnya, jika didalam islam (alquran khususnya)
mengatakan bahwa Isa Al-Masih adalah hamba dan rasulNya, maka walaupun demi
nama toleransi umat beragama kita tidak boleh mengatakan hal yang sebaliknya
hanya karena untuk menyenangkan hati orang lain. Simak petikan terjemah ayat
berikut ini,
“Sungguh telah
kafir orang-orang yang berkata “Sesungguhnya ALLAH itu dialah Al-Masih putra
maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil !, sembahlah
ALLAH, Tuhanku dan Tuhanmu”, sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu
dengan) ALLAH, maka sungguh ALLAH mengharamkan surga baginya, dan tempatnya
ialah di neraka”.
Bacalah dengan
bijak dan cermat ! pada penggalan ayat diatas ALLAH menegaskan bahwa Isa ibn
Maryam bukanlah anak ALLAH, bahkan nabi Isa mengatakan bahwa sembahlah ALLAH
dan jangan mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Tidak mungkin, dalam waktu
yang sama kita juga menerima pendapat umat kristiani yang meyakini bahwa Isa
adalah anak Tuhan. Kemustahilan itu terjadi karena adanya 2 zat/sifat yang
bertentangan dalam satu waktu. Disinilah kerancuan pola pikir ajaran
relativisme, karena fitrah manusia hanya akan membenarkan satu kebenaran sejati[4]
dan dalam waktu yang sama, pasti mengingkari ajaran yang bertentangan dengan
kebenaran tersebut.
Oleh karena itu,
alangkah jahilnya apabila ada seorang professor/doctor dalam bidang agama yang
mengatakan bahwa bukan hanya islam sajalah sumber kebenaran, akan tetapi islam
hanyalah salah satu dari berbagai jalan kebenaran yang hakiki. Maka dari itu, tak
heran apabila mereka juga mengatakan bahwa nanti di surga kita akan
berdampingan dengan orang yang menganut agama diluar islam. Na’udzubillah.
Tak
hanya relativisme yang populer akhir-akhir ini, namun paham liberalisme pun tak
henti-hentinya merobek akidah ismalm dari luar maupun dari dalam. Liberalisme
adalah induk dari subpaham seperti relativisme, multikulturalisme, perenialisme
dan isme-isme yang lain. Virus ini menyebar lewat perguruan tinggi-perguruan
tinggi islam yang seharusnya meluluskan dan mencetak para sarjana muslim yang
qur’ani bukan malah mencetak sarjana-sarjana yang ragu dengan kebenaran
agamanya sendiri.
Liberalisme
sendiri adalah paham yang menganut kebebasan dalam setiap bidang, baik itu
kebebasan beragama, berpendapat maupun kebebasan berijtihad/berpikir. Dalam
konteks agama, paham ini memberikan kebebasan tanpa batas kepada manusia untuk
menafsirkan kitab suci dan berijtihad semaunya. Dengan kata lain, penafsiran terhadap kitab
suci (khusunya alquran) dapat dilakukan oleh siapapun walau tak memiliki ilmu
yang mumpuni dalam bidang itu. Para pengusung paham liberal ini, lebih sering
mengutamakan esensi dari teks asalkan tujuannya sama. Contohnya seperti dalam
penafsiran tentang kerudung untuk muslimah. Bagi mereka, kerudung hanyalah
sebuah benda diantara banyak benda yang dapat menghindarkan wanita muslimah
dari gangguan pihak lain. Jadi kerudung hanya dikatakan sebagai penutup kepala
bukan sebagai perintah syariat dari ALLAH. Inilah hasil penafsiran esensi yang
menggunakan pendekatan hermeneutika[5].
Menurut mereka pula, jika kenyamanan wanita abad sekarang lebih terjamin
dibanding dengan abad sebelumnya tanpa kerudung, kenapa tidak untuk melepas
kerudung tersebut karena esensi dari penggunaan kerudung adalah menjaga
kehormatan dan keselamatan wanita itu. Penganut paham ini pun menuntut
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Lebih jauh lagi, mereka mengkritisi tentang ibadah dan
muamalah yang sudah final seperti kenapa imam shalat harus laki-laki ?, kenapa
shaf wanita harus dibelakang anaknya yang laki-laki ?, kenapa istsri tidak
boleh mentalak suaminya jika suaminya berbuat salah (selingkuh) ?. ini beberapa
pertanyaan yang sering didengung-dengungkan oleh para aktivis liberal dalam
bidang kewanitaan atau yang sering disebut dengan paham feminsime.
Feminisme
lahir dari penindasan kebudayaan rusak zaman eropa kuno. Dalam pandangan eropa
kuno, yaitu sekitar abad 17, wanita dipandang sebagai jelmaan setan atau alat
bagi setan untuk menggoda manusia. Itu artinya, pada zaman tersebut wanita
belum dikatakan sebagai manusia karena masih diperdebatkan oleh para uskup
gereja yang masih meragukan tentang kemanusiaan perempuan. Maka tidak heran
apabila pada abad-abad ini terkenal dengan abad kegelapan. Karena betapa
jahilnya bangsa barat waktu itu, berbeda dengan bangsa barat, di timur dunia
ini ada peradaban yang sudah sangat canggih dan cerdas, mereka sudah menata
kehidupan dengan baik dan dibawah naungan kitab ALLAH dan Sunnah RasulNya. Itulah
peradaban islam. Tidak pernah ada konflik antara peraturan agama dengan
kehidupan sosial masyarakat islam waktu itu, karena memang aturan yang dibawa
oleh islam seusai dengan fitrah manusia. Islam bukanlah agama historis, yaitu
agama yang terekonstruksi oleh sejarah) karena dari zaman nabi Muhammad sampai
hari ini tidak pernah ada perubahan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa dan
ibadah lainnya. Jadi islam memang sudah final, tidak perlu adanya metodologi
pemikiran yang bertentangan dengan islam apalagi berasal dari barat yang bila
ditinjau lebih jauh lahir dari pemikiran usang korban sejarah masa lalunya. Dan
itu artinya, islam tidak butuh dengan relativisme, pluralisme, kesetaraan
gender, perenialisme dan isme-isme sesat lainnya.
Dalam
pandangan islam, kehidupan sejati bukanlah di dunia yang kita singgahi ini,
namun kehidupan akhirat yang kekal setelahnya. Apapun yang ALLAH tugaskan dan
larangkan dalam alquran adalah jalan keselamatan untuk menggapai ridha ALLAH
dan surgaNya. Bukan hanya untuk kesenangan dunia semata.
Oleh
karenanya, islam sebagai agama yang final tidak seperti agama-agama yang lain
yang bersifat historis dan akliyyah. Ia bukanlah produk sejarah, karena sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada perubahan kewajiban dan larangan yang
ALLAH berikan dari zaman nabi Muhammad sampai hari ini. Islampun tidak pernah
memiliki masalah dengan umatnya terkait kewajiban yang yang diberikan ALLAH
terhadap umatnya. Paham-paham seperti liberalisme dan yang lainnya adalah
produk dari kebudayaan dan agama diluar islam, maka sungguh naif apabila ada
segolongan umat islam yang memaksakan kehendaknya untuk menaturalisasikan
paham-paham tersebut kedalam tubuh islam yang kaffah.
Semoga
ALLAH membukakan mata hati kita agar mendapat kebenaran yang diridhaiNya dan
menjauhkan kita dari paham yang menyesatkan kita dari jalanNya. Wallahu a’lam.
Label:
Dunia Islam
Responses
0 Respones to " RELATIVISME DAN LIBERALISME AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM"